Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam pemilihan umum (pemilu) sekarang dilarang oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya adalah penggunaan AI secara berlebihan tidak menampilkan citra diri peserta pemilu yang sebenarnya. Keputusan tersebut tercantum dalam perkara nomor 166/PUU-XXI/2023, yang diajukan oleh Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP). MK mengabulkan sebagian gugatan terkait uji materi Undang-undang Pemilu, terutama pada Pasal 1 angka 35.
Pemohon dalam gugatannya menilai bahwa teknologi canggih yang digunakan dalam kampanye perlu dibatasi karena dapat memutar balikkan fakta citra diri kandidat. Mereka khawatir bahwa penggunaan citra diri yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat menipu pemilih. MK mempertimbangkan bahwa citra diri peserta pemilu merupakan hal penting bagi masyarakat untuk membuat pilihan mereka.
Pengamat politik, DR Hasrullah, menyatakan bahwa penggunaan AI dalam politik, terutama dalam pemilu, sulit untuk dihindari. Ia menjelaskan bahwa banyak milenial dan Gen Z yang menggunakan teknologi AI dalam politik, dan hal itu sah-sah saja selama tidak melanggar norma dan etika. Menurutnya, penggunaan AI dalam politik dapat membantu dalam komunikasi politik dan membangun citra diri calon.
Hasrullah mencontohkan bahwa dalam Pemilu 2024, calon presiden dan wakil presiden menggunakan teknologi AI untuk mengedit gambar atau video mereka agar lebih menarik. Contohnya, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming menggunakan AI untuk menarik simpati pemilih, terutama milenial. Mereka terkenal dengan julukan “Gemoy” karena gambar dan video AI lucu-lucu mereka.
Dalam ilmu komunikasi politik, social engagement atau interaksi antara calon dan pemilih di media sosial sangat penting. Penggunaan teknologi AI dapat membantu calon membranding diri mereka dan membentuk citra diri yang positif di mata publik. Hasrullah menyatakan bahwa penggunaan AI dalam politik tidak masalah selama itu digunakan dengan baik dan tidak melanggar etika.
Jadi, meskipun penggunaan AI dalam politik dapat membantu calon membangun citra diri yang positif, penting untuk memperhatikan batas-batas etika dan norma yang berlaku. Selama penggunaan teknologi AI dilakukan dengan bijaksana, tidak ada masalah dalam memanfaatkannya dalam perhelatan politik.