Partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 di Sulawesi Utara (Sulut) memang mengecewakan. Hanya 74 persen dari pemilih yang menggunakan hak suaranya, jauh dari target nasional sebesar 77 persen. Ini tentu menjadi perhatian serius bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut.
Tren partisipasi pemilih di Sulut pada 2019 saat Ardiles Mewoh memimpin KPU Sulut, tingkat partisipasi pemilih Sulut mencapai 79,84 persen, tertinggi pertama dari sembilan provinsi yang menggelar pilgub. Bahkan melebihi target nasional sebesar 77,5 persen, meskipun Sulut sedang dilanda pandemi Covid-19. Namun, rendahnya partisipasi untuk pilkada 2024 memicu kritik tajam terhadap kinerja KPU Sulut.
Aldo Rumbay, warga Kota Manado, menyampaikan kekecewaannya terhadap rendahnya angka partisipasi pemilih. Menurut Aldo, hal ini menunjukkan kegagalan KPU Sulut dalam menjalankan tugasnya. “Partisipasi pemilih hanya 74 persen sangat memalukan. KPU Sulut harus lebih efektif dalam memobilisasi kesadaran masyarakat untuk memilih. Bagaimana bisa kita bicara tentang demokrasi yang sehat jika masyarakat enggan terlibat?” tegas Aldo.
Ia juga menyoroti kurangnya sosialisasi dari KPU sebagai salah satu penyebab rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan hak pilih mereka. “Sosialisasi minim, informasi tentang calon pun kurang tersebar dengan baik. Akibatnya, banyak masyarakat menjadi apatis terhadap Pilkada,” tambahnya.
Pakar politik, Dr. Burhan Niode, juga memberikan analisis tajam terhadap masalah ini. Ia menekankan bahwa penurunan angka partisipasi pemilih menjadi indikator bahwa tugas KPU sebagai penyelenggara pemilu semakin berat. “Angka partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di Sulut sangat memprihatinkan. Bahkan di bawah angka partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 yang mencapai 76,9 persen,” ungkapnya.
“Jika dibandingkan dengan tren tahun 2020, partisipasi 74 persen menunjukkan penurunan yang signifikan. KPU Sulut harus segera mengevaluasi faktor-faktor yang membuat masyarakat enggan memilih. Apakah sosialisasi kurang efektif? Ataukah ada faktor lain, seperti ketidakpuasan terhadap kandidat atau proses pemilu?” kata Burhan.
Hal yang sama disampaikan oleh pakar politik Dr. Stefanus Sampe. Ia menilai rendahnya angka partisipasi pemilih sebagai pukulan keras bagi KPU Sulut. “KPU harus melakukan perbaikan. Keberhasilan KPU dapat diukur dari tingkat partisipasi pemilih. Jika tinggi, itu berarti KPU sukses. Namun, jika rendah seperti sekarang, hanya mencapai 74 persen, menandakan kegagalan KPU Sulut,” tegasnya.
Dr. Stefanus juga menekankan pentingnya upaya maksimal dari KPU dalam meningkatkan partisipasi pemilih. “KPU harus intensif dalam program sosialisasi, memanfaatkan media massa dan digital, serta melibatkan tokoh masyarakat untuk meningkatkan kesadaran pemilih. Jangan hanya fokus pada teknis penyelenggaraan, tapi juga perhatikan aspek partisipasi,” ujarnya.
Rendahnya angka partisipasi pemilih di Sulut menjadi catatan penting bagi KPU, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Dengan pemilu sebagai wujud utama demokrasi, tingkat partisipasi mencerminkan sejauh mana masyarakat percaya dan terlibat dalam proses politik.
“KPU Sulut harus segera melakukan evaluasi menyeluruh. Apa yang salah dengan strategi mereka? Apakah ada pendekatan yang tidak relevan? Semua ini harus dijawab jika kita ingin memastikan pemilu berikutnya lebih baik,” tutupnya.