Rencana pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto adalah langkah yang patut diapresiasi. Pertemuan kedua tokoh nasional ini dapat membantu menurunkan ketegangan politik sebelum pelantikan Prabowo-Gibran pada 20 Oktober 2024. Menurut M. Jamiluddin Ritonga, seorang pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, pertemuan ini diharapkan dapat membuat proses peralihan kekuasaan berlangsung dalam suasana yang damai dan penuh kegembiraan.
Masyarakat akan melihat peralihan kekuasaan tersebut tidak sebagai momen yang menakutkan, melainkan sebagai proses yang berjalan dengan lancar dan damai. Pertemuan antara Megawati dan Prabowo diharapkan dapat menghilangkan ketegangan yang muncul setelah Pilpres 2024.
Jamil menegaskan bahwa pertemuan antara Megawati dan Prabowo tidak boleh dianggap sebagai transaksi politik. Jika hal ini terjadi, maka PDIP tidak lagi akan menjadi partai yang berideologi tetapi akan beralih menjadi partai yang pragmatis dan hanya haus akan kekuasaan. Namun demikian, kemungkinan PDIP untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran tetap terbuka jika ada kepentingan yang sama di antara kedua belah pihak.
Meskipun demikian, peluang tersebut tampaknya kecil selama Gibran dan Jokowi masih berada di kubu Prabowo. Masalah PDIP bukanlah terhadap Prabowo, melainkan terhadap Gibran dan Jokowi. Meskipun Puan Maharani memberi sinyal kemungkinan PDIP akan masuk ke pemerintahan Prabowo-Gibran, keputusan akhir tetap ada di tangan Megawati.
Jamil menilai kemungkinan PDIP berkoalisi dengan pemerintahan sangat kecil karena Megawati tidak akan bersedia bersama dengan Prabowo selama Jokowi dan Gibran masih ada di kubu Prabowo. Hal ini sangat prinsip bagi Megawati yang mengutamakan ideologi dalam berpartai.
Meskipun demikian, Jamil juga mengakui bahwa kemungkinan PDIP berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo tetap ada jika Megawati berubah menjadi sosok yang lebih pragmatis. Namun hingga saat ini, Megawati tampaknya masih mempertahankan idealismenya sebagai sosok yang berideologi.
Jika PDIP benar-benar berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo, maka tidak akan ada partai yang berada di posisi oposisi. Hal ini tentu saja akan menjadi tragedi nasional karena tanpa oposisi, Indonesia akan kehilangan esensi dari demokrasi.
Menurut Jamil, tanpa adanya oposisi, Indonesia akan kembali ke masa kegelapan seperti yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini juga akan menjauhkan Indonesia dari cita-cita reformasi dan membuat negara ini semakin otoriter.
Pertemuan antara Megawati dan Prabowo diharapkan tidak hanya untuk membagi-bagi kekuasaan, tetapi juga untuk menjaga kedamaian di negeri tercinta ini. Karena itu, penting bagi kedua tokoh ini untuk bekerja sama demi kebaikan bangsa dan negara.